Hari itu, 20 Januari 1985, seorang remaja berusia 16 tahun memulai karirnya sebagai pemain bola di Stadio Friuli, kandang Udinese. Pada 24 Mei 2009, puluhan ribu orang yang datang ke San Siro akan mengerti bahwa mulai sekarang mereka akan kehilangan seseorang, juga merindukan sesuatu: Paolo Maldini, "La Bandiera della Milan".Ya, Paolo Maldini bukan hanya "seseorang", ia juga "sesuatu". Sebagai "seseorang", Maldini adalah seorang pemain besar, seorang legenda. Sebagai "sesuatu", Maldini adalah suatu etik, suatu etos juga suatu simbol.Sebagai seseorang, Maldini adalah pemain dengan sederet prestasi yang sudah lebih dari cukup untuk menjadikannya sebagai legenda. Ia sudah 7 kali juara Liga Italia, 5 kali juara Liga Champions, 1 satu juara Copa Italia, 5 kali juara Super Copa Italia, 2 kali Piala Toyota (Piala Interkontinental), 1 kali juara dunia antar klub. Sudah lebih dari seribu pertandingan dijalani sebagai pemain profesional, baik di level klub maupun tim nasional. Tapi itu hanya statistik dan -- seperti kata Tolstoy -- angka hanya mengungkapkan sebagian cerita.Maldini, pemilik gelar Ufficiale Ordine al Merito della Repubblica Italiana, barangkali adalah peletak-dasar dari bek sayap yang bukan cuma tangguh bertahan, tapi juga piawai menyisir garis pertahanan lawan. Brazil sudah lama memperkenalkannya, tapi di Eropa, barangkali Maldini-lah yang memperkenalkan secara sempurna.Ia diberkahi fisik yang kokoh, keseimbangan yang ideal, kecepatan yang memadai, juga kecerdasan membaca permainan di atas rata-rata. Faktor terakhir itulah yang membuatnya tak kesulitan memainkan peran sebagai center-back. Di awal karirnya, Maldini bahkan sempat mencicipi posisi sebagai bek kanan dan gelandang bertahan. Sergio Batastini, pemain yang ia gantikan dalam debutnya 24 tahun silam, adalah seorang gelandang bertahan.Saat stamina dan fisiknya mulai mengendur seiring bertambahnya usia, maka skill, pengalaman, sederet gelar, dan nama besar itulah yang membuatnya tetap mampu mengawal pertahanan Milan. Kolomnis olahraga The Star, Cathal Kelly, menulis: "Saat seorang striker muda berlari menuju gawang Milan dan lantas melihat Maldini berdiri di hadapannya, maka ia akan nervous dengan sendirinya, dan mungkin akan memilih mengoper bola pada rekannya."Hanya pemain yang dalam dirinya sendiri melekat sebuah simbol sajalah hal itu bisa terjadi. Ya, Maldini adalah simbol dari dekade-dekade kegemilangan AC Milan, "La Bandiera della Milan".Setelah sembilan tahun tak pernah jadi juara Liga Italia (terakhir 1979), Milan akhirnya kembali jadi juara pada musim 1987-1988. Maldini ketika itu baru berusia 19 tahun. Ia masih junior ketika itu, mungkin perhatian publik juga belum mengarah padanya, tapi pada Marco van Basten, Gullit, Frank Rijkard, Fanco Baresi hingga Carlo Ancelotti. Tapi itu hanya soal waktu. Setelah nama-nama besar itu pergi, Maldini tetap di sini. George Weah, Dejan Savicevic, Zvonimir Boban, Roberto Baggio, Alessandro Nesta atau Ricardo Kaka lantas datang, Maldini tetap bermain di lini belakang. Ia satu-satunya pemain Milan yang mencicipi gelar Juara Liga Champions Eropa dalam tiga dekade yang berbeda (1989; 1990, 1994, 2003, 2007). "Maldini the fulcrum of Milan generation game," tulis Richard William dalam kolomnya di The Guardian.Tapi Maldini bukan hanya La Bandiera della Milan, ia adalah suatu etik, suatu etos: tentang bagaimana seorang atlet seharusnya memperlakukan tubuhnya, memelihara semangatnya, dan menjaga kehidupannya.Tak pernah sekali pun ia berniat pindah klub, bahkan kendati banyak klub dulu bersedia menggajinya dengan angka yang sungguh menggoda. Ia juga jarang sekali digosipkan, jarang tertangkap tangan mabuk-mabukan, bahkan kendati ia sebenarnya seorang DJ. Nyaris tak pernah ia berpaling pada perempuan selain istrinya, bahkan walaupun ia seorang model yang pernah membuat seorang Giorgio Armani frustasi. Ia fokus, selalu fokus, pada karirnya sebagai pemain bola, dengan berlatih dan berlatih. Seluruh hidupnya hanya untuk itu.Hasilnya adalah kombinasi atletisime fisikal dengan stilistika seorang model. Tackling-nya seringkali terasa lembut, sentuhannya halus. Semuanya terasa makin dandy karena ia selalu tampil dengan wajah yang penuh senyum, rambut yang klimis. Ibarat parfum, ia adalah aroma khas Italia dalam kerasnya dunia sepakbola. Tapi Anda tak bisa menilainya sebagai Marcello Mastroianni yang di-remake oleh La Dolce Vita. Ia tetaplah Maldini, seorang lelaki yang hidupnya hanya untuk sepakbola.Hanya dengan karakter macam itulah Maldini bisa merengkuh semua capaian yang kelak semua pemain bola akan iri kepadanya. Dengan semua itu pula semua penggemar sepakbola akan merindukannya tiap kali membaca berita ada seorang superstar bola kedapatan mabuk-mabukan dan telat datang ke tempat latihan. Jika para pemain Milan atau AS Roma yang tampil di laga terakhir Maldini atau juga para penonton yang hadir di San Siro ditanyai komentarnya ihwal Maldini, mungkin akan banyak yang menjawab dengan kata-kata yang pernah dituliskan Shakespeare dalam naskah Much Ado about Nothing pada bagian 3 adegan 5: "A good old man, Sir!"Maldini adalah "seseorang" sekaligus "sesuatu".
Maldini (AFP)
Jolly July : Men and Women Recruitment Campaign 28 Juni – 30 Juli 2010
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar